Perubahan Selama Kehamilan

Kehamilan dapat terjadi ketika sel sperma pria bertemu dengan sel telur wanita. Suatu kehamilan normal biasanya berlangsung 280 hari. Selama itu terjadi perubahan-perubahan baik pada ibu maupun pada janin (Pusdiknakes, 2001).
Darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut : Plasma 30%, sel darah 18% dan Hemoglobin 19% (Prawirohardjo, 1999).

Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis pengenceran darah ini untuk meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan. Apabila Viskositas darah rendah, resistensi perifer berkurang pula sehingga tekanan darah tidak naik, pada perdarahan waktu persalinan banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental (Prawirohardjo, 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dan lingkungan intrauterin. Termasuk faktor genetik antara lain adalah faktor bawaan yang normal dan patologik, suku bangsa. Selain itu ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang baik dengan sistem reproduksi yang normal tidak sering menderita sakit dan tidak ada gangguan gizi pada masa prahamil maupun pada saat hamil akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan lebih sehat daripada ibu yang kondisinya tidak seperti itu ( Soetjiningsih, 1998).

9D5PPRCQX67Q

Keracunan Hipnotika-Sedativa dan Analgetika

PROSEDUR PENATALAKSANAAN KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA

BATASAN
1. Sifat-sifat
Banyak obat-obat yang menimbulkan sedasi dan hipnosis dengan cara menekan susunan saraf pusat ( SSP ). Overdosis obat-obat ini menimbulkan koma dengan kegagalan pernapasan. Dosis fatal sebagian besar obat depresan nonbarbiturat berkisar antara 100 – 500 mg/kg BB ( kecuali chloral hydrat ). Untuk chloral hydrat dosis fatal sekitar 30 mg/kg BB, sedang barbiturat berkisar 1 – 2 gram.

2. Macam-macam
  • Golongan barbiturat : fenobarbital ( Luminal ), amobarbital ( Amytal ), pentotal ( Nembutal ), tiopental ( Pentotal ).
  • Nonbarbiturat : meprobamat, methaqualon, gluthetimide ( Doriden ).
  • Antiepilepsi : phenitoin ( Dilantin ), carbamazepin ( Tegretol ).
  • Antihistamin : antazoline, diphenhydramine ( Benadryl ), dll.
  • Phenothiazine dan derivat-derivatnya : chlorpromazine ( Largacti ), chlordiazepoxide ( Librium ), diazepam ( Valium, Stezolid ), lorazepam (Ativan), haloperidol ( Haldol ),dll.
  • Bromidum : NaBr, KBr, NH4Br.
  • Analgetika : asam salisilat ( Aspirin ), acetaminophen ( Paracetamol ), metampiron ( Antalgin, Novalgin ).
  • Analgetika narkotika : morphine, codeine, heroin, meperidine ( Pethidine ), opium ( Papaver somniferum ), loperamide ( Imodium ), dll.

PATOGENESA
Obat-obat golongan sedativa-hipnotika dan analgetika ini menyebabkan depresi progresif dari susunan saraf pusat ( SSP ), menurun dari korteks ke arah medulla. Pusat respirasi akan ditekan, dan pergerakan napas akan mengurang, menimbulkan anoksia jaringan.

DIAGNOSA
Gambaran klinis
Keluhan pertama adalah rasa ngantuk, bingung dan menurunnya keseimbangan. Dengan cepat kemudian diikuti dengan koma, dan pernapasan yang pelan dan dangkal.Selanjutnya otot-otot melemah atau “flaccid”, hipotensi, sianosis, hipotermi atau hipertermi, dan refleks-refleks menghilang.
Lama koma sangat bervariasi, tergantung dosis dan jenis obat, dapat 1 – 7 hari.
Kematian biasanya akibat komplikasi pneumoni aspirasi, edema paru atau hipotensi yang refrakter.

Pemeriksaan laboratorik
Pada koma yang lama dapat timbul hipokalemia. PCO2 darah dapat meningkat. Khusus barbiturat, tinggi kadar dalam darah berhubungan erat dengan lama koma serta jenis dan dosis barbiturat yang dipakai. Untuk fenobarbital dan barbital, kadar 5 – 8 mg/100 ml dalam darah, menunjukkan keracunan yang berat.
PENGOBATAN
1. Resusitasi
Pertahankan jalan napas yang baik, bila perlu dengan “oropharyngeal airway” atau intubasi endotrakheal. Hisap lendir dalam saluran napas. Bila timbul depresi pernapasan, berikan O2 lewat kateter hidung ( 4 – 6 liter/menit ) atau masker oksigen ( 2 – 4 liter/menit ). Bila perlu gunakan respirator.
2. Eliminasi
Eliminasi sangat tergantung pada tingkat kesadaran penderita, jenis dan dosis obat yang dipakai.
Pada penderita sadar : cukup emesis, pemberian norit dan laksans MgSO4. Kalau pasti dosis rendah, langsung dipulangkan. Bila ragu-ragu observasi selama beberapa jam.
Koma derajat ringan – sedang : kumbah lambung dengan pipa nasogastrik tanpa endotrakheal, diikuti dengan diuresis paksa selama 12 jam bila ragu-ragu tentang penyebab keracunan.
Caranya : mulai dengan 1 ampul kalsium glukonas intravena, selanjutnya infus Dekstrosa 5 – 10% ditambah 10 ml KCl 15% ( = 1,50 mg KCl ) untuk setiap 500 ml Dekstrose, kecepatan 3 liter dalam 12 jam; setiap 6 jam diberi 40 mg furosemide intravena. Diuresis paksa dapat diulang setiap 12 jam bila perlu, sampai penderita sadar. Untuk keracunan salisilat dan fenobarbital dapat ditambahkan 10 mEq Na-bikarbonat untuk setiap 500 ml Dekstrosa ( diuresis paksa alkali ).
Koma derajat berat : KL dengan pipa endotrakheal berbalon, untuk mencegah aspirasi ke dalam paru. Selanjutnya diuresis paksa netral/alkali, atau dialisis ( peritoneal / hemodialisis ) sampai penderita sadar.
3. Antidotum
Tidak ada antidotum yang spesifik. Obat-obat analeptik semuanya merupakan kontraindikasi. Selain tidak efektif, obat-obat ini dapat menimbulkan bermacam-macam komplikasi ( aritmia jantung, konvulsi, gangguan faal ginjal, dll )

PROGNOSA
Tergantung keadaan klinis dan derajat gangguan kesadaran penderita.
  • Ringan   : mudah dibangunkan, tidak perlu pengobatan khusus.
  • Sedang  : sulit dibangunkan, pernapasan normal dan teratur, tidak ada sianosis maupun edema paru, tekanan darah normal. Dapat pulih asal dalam 24 – 48 jam dengan perawatan yang baik dan pemberian cairan yang adekwat.
  • Berat   : Koma dengan pernapasan yang pelan, dangkal, tidak teratur, sianosis, semua refleks menghilang, hipotensi, hipotermi, pupil midriasis, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri.
Dalam keadaan demikian, angka kematian masih tetap di bawah 5%.
Penderita dapat pulih asal dalam 3 – 5 hari
Tag : Keracuan, intoksikasi, penatalaksanaan intoksikasi , Overdosis obat, Antidotum sedativ hipnitik, anelgetik

Penatalaksanaan Hordeolum

PENGERTIAN
Hordeolum adalah suatu peradangan supuratif kelenjar Zeis, kelenjar Moll (hordeolum eksterternum) atau kelenjar Meibom (Hordeolum internum).

 
PENYEBAB
Infeksi:
  •  stafilokokus
  • -moraxella

PATOFISIOLOGI
  • Pembentukan nanah terdapat dalam lumen kelenjar
  • Bisa mengenai kelenjar Meibom, Zeis, dan Moll
  • Apabila mengenai kelenjar Meibom, pembengkakan agak besar, disebut hordeolum internum.
  • Penonjolan pada hordeolam ini mengarah kekulit kelopak mata atau kearah konjungtiva. Kalau yang terkena kelenjar Zeis dan Moll; penonjolan kearah kulit palpebra, disebut hordeolum ekstenum.

GEJALA KLINIS
  • Gejala subyektif dirasakan mengganjal pada kelopak mata rasa sakit yang bertambah kalau menunduk, dan nyeri bila ditekan.
  • Gejala obyektif tampak suatu benjolan pada kelopak mata atas/bawah yang berwarna merah dan sakit bila ditekan didekat pangkal bulu mata.
  • Secara umum gambaran ini sesuai dengan suatu abses kecil.

PENGOBATAN
  • Kompres hangat selama 10 - 15 menit, 3 - 4 kali sehari.
  • Antibiotika topikal (neomycin, polirnyxin B, gentamycin) selama 7 -10 hari, bila dipandang perlu dapat ditambahkan antibiotika sistemik, misal Ampisillin 4 x 250 mg per-ora/hari.
  • Bila tidak terjadi resorbsi dengan pengobatan konservatif dianjurkan insisi.
  • Perbaikan higiene dapat mencegah terjadinya infeksi kembali.

CARA INSISI
  • Diberikan anestesi setempat dengan tetes mata Pantokain.
  • Kalau perlu diberikan anestesi umum, misal pada anak-anak atau orang-orang yang sangat takut sebelum diberi anestesi umum.
  • Untuk lokal anestesi bisa dipakai prokain 2% dilakukan secara infiltratif dan tetes mata Pantocain 2%.
  • Pada hordeolum internum insisi dilakukan pada konjungtiva, kearah muka dan tegak lurus terhadapnya (vertikal) untuk menghindari banyaknya kelenjar-kelenjar yang terkena.
  • Pada bordeolum ekstrnum arah insisi horisontal sesuai dengan lipatan kulit.

PENYULIT
  • Suatu hordeolum yang besar dapat menimbulkan abses palpebra dan selulitis palpebra.
Tag : Hordeolum, Timbil, Pengobatan hordeolum, Patofisiologi Hordeolum

Jenis-jenis ASI sesuai perkembangan bayi

a). ASI kolostrum / susu jolong (Roesli, 2005).
  1. Merupakan cairan pertama yang keluar dari kelenjar payudara dan keluar pada hari pertama sampai hari ke 4-7.
  2. Komposisinya selalu berubah dari hari ke hari.
  3. Merupakan cairan kental dengan warna kekuning-kuningan, lebih kuning dibanding susu matur.
  4. Merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang.
  5. Lebih banyak mengandung protein, sedangkan kadar karbohidrat dan lemaknya lebih rendah dibandingkan ASI matur.
  6. Mengandung zat anti infeksi 10-17 kali lebih banyak dari ASI matur.
  7. Total energi lebih rendah jika dibandingkan ASI matur.
  8. Volume berkisar 150-300 ml / 24 jam.

b). ASI Transisi/Peralihan.
  1. Adalah ASI yang diproduksi pada hari ke 4 sampai 7 sampai hari ke 10 sampai 14.
  2.  Kadar protein berkurang sedangkan kadar karbohidrat dan lemak meningkat.
  3. Volume semakin meningkat.

c). ASI Matur
  1. Merupakan ASI yang diproduksi sejak hari ke 14 dan seterusnya.
  2. Komposisi relatif konstans.
  3. ASI merupakan makanan satu-satunya yang paling baik bagi bayi sampai usia 6 bulan.
  4. Komposisi ASI di banding dengan Susu Formula (komposisi kolostrum, ASI transisi, ASI matur dan susu sapi mempunyai kadar protein, 4,1 g %, 1,6 g %, 1,2 g %, 3,3 gr%. Lemak 2,9 g %, 3,5gr%, 3,7gr%, 4,3gr%. Kalori 57 kcal/100ml, 63 kcal/100ml, 65 kcal/100ml, 65 kcal/100 ml. Laktosa 5,5 gr%, 6,4 gr%, 7gr%, 1,8gr% (Depkes RI,1997))